Caption : Ilustrasi
AKHIR -AKHIR ini di Indonesia, narasi tentang marginalisasi diskriminasi dan kekerasan terhadap penyandang disabilitas, yang mereka alami. Ini sebenarnya tidak baru sama sekali seiring maraknya semangat feminisme dalam beberapa dekade terakhir.
Tapi, yang menjadi sorotan dalam tulisan ini ialah, Marginalisasi diskriminasi dan kekerasan terhadap penyandang disabilitas.
Kelompok ini sering luput dari perhatian dan analisa para pengambil kebijakan dan pembuat undang-undang.
Faktanya, perempuan disabilitas inilah yang paling rentan mengalami kekerasan, seperti kekerasan seksual, diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk.
Bahkan, perempuan penyandang disabilitas psikososial ini juga rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi yang tumpang tindih. Mereka umumnya adalah kelompok minoritas yang miskin dan lemah. Karena keterbatasan
Penyandang disabilitas, baik laki-laki maupun perempuan, menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan stigmatisasi dalam kehidupan sehari-hari. Akibat berbagai diskriminasi, partisipasipenyandang disabilitas usia produktif di pasar kerja masih kurang.
Di dalam sunyi yang tak terungkap, terdapat jiwa jiwa kuat yang terkapar, di tengah hiruk pikuk dunia yang hirau, mereka di sisihkan, terlupakan dalam bayang bayang.
Dalam tiap langkah yang tertatih ada luka yang tak terlihat, pedih yang tak terperih. Diskriminasi menghujam bagai belati,mengoyak jiwa dan menyiksa rasa hati.
Marginalisasi menutup pintu pintu harapan, mengasingkan mereka dari cahaya
kehidupan, di ujung gelap mereka berjuang melawan bisikan dan cibiran yang terus datang.
Kekerasan seksual menjadi duri yang menyayat, merenggut martabat dalam senyap, namun mereka tetap tabah berdiri, meski dunia tak selalu berpihak pada diri.
Penyandang disabilitas seringkasi tidak terlihat dalam statistic nasional, dangan data resmi menunjukan prevalensi disabiitas hanya sekitar 4-5%, jauh dari rata rata global sebesar 15% hal ini, mengakibatkan kurangnya kebijakan berbasis bukti yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.
“to get the support of the government, people need to be visible – and those living with disability are not” kata Valerie juliand, coordinator presiden PBB di Indonesia.
“ ini adalah masalah besar yang kami dukung untuk di tangani pemerintah. (UN REPORT HIGHLIGHTS DISABILITY DATA GAPS IN INDONESIA 02 DESENBER 2022).
Mereka kerap menghadapi hambatan dalam akses Pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan, stigma sosial dan diskriminasi di berbagai aspek kehidupan sehari hari memperparah situasi ini.
Hal ini di perparah dengan adanya tindak tak senonoh dan sangat keji yaitu tindak kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas.
Pemantauan Komnas Perempuan menunjukan bahwa penyandang disabilitas khususnya perempuan dengan disabilitas masih mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan.
Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 Komnas Perempuan mencatat sebanyak tujuh puluh
sembilan (79) kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas sepanjang tahun 2022, 7 di antaranya, dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan.
Jumlah kasus yang dilaporkan tersebut belum menggambarkan realitas sebenarnya, Kasus yang dilaporkan biasanya tidak sebanding dengan jumlah kasus yang terjadi.
Selain memiliki kerentanan-kerentanan khusus dan berlapis terhadap kekerasan,perempuan penyandang disabilitas juga mengalami hambatan dalam melaporkan kasusnya, sepertiminimnya pengetahuan terkait mekanisme pelaporan dan penanganan kasus yang belum berperspektif disabilitas dan penanganan kasus kekerasan terhadap disabilitas serta pemulihan yang belum aksesibilitas.
Menurut pandangan saya untuk benar benar memberdayakan penyandang disabilitas di
Indonesia,diperlukan langkah langkah kongkret yang berkelanjutan dan inklunsif.
Edukasi public untuk mengurangi stigma, peningkatan akses terhadap layanan dasar, serta penegakan hukum yang tegas
terhadap pelaku kekerasan dan diskriminasi adalah beberapa langkah penting yang harus di ambil.
Hanya dengan komitmen Bersama lapisan masyarakat, kita bisa lingkungan yang lebih adil dan manusiawi bagi penyandang disabilitas, agar terciptanya masyarakat yang bermadaniyyah dengan taat dan tetram, hidup berdampingan serta saling menghargai di hargai dan berharga. (*)
Penulis: Laurel Maulana Rohyan
Mahasiswa Fkultas Hukum Unpam PSDKU, Kota Serang