Peradi Minta Tinjau Ulang Surat Ketua MA Soal Sumpah Advokat

Mohd.M.M.Herman Sitompul,SH.MH, Waka Sekjen DPN Peradi

Penulis :Deni |Editor :Budy 

JUARAMEDIA.COM JAKARTA – Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk meninjau ulang surat keputusan Mahkamah Agung RI nomor 089/KMA/VI/2010 tentang pernyataan bahwa Pengadilan Tinggi baru dapat mengambil sumpah para advokat yang memenuhi syarat, dengan kentuan usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh pengurus Peradi sesuai dengan kesepakatan tertanggal 24 Juni 2010.

Hal demikian disampaikan Mohd.M.M.Herman Sitompul,SH,MH selaku Wakil Sekjen DPN PERADI, bidang pebelaan organisasi, kepala media, Senin (13/04/20) di Jakarta melalui telepon selulernya.

Menurut Herman Sitompul, Dosen terbang PKPA DPN PERADI yang juga dosen tetap FH UNMA Banten dan beberapa PTS se Jabodetabek-Banten ini, bahwa surat tersebut batal seiring dengan keluarnya surat Ketua MA yang baru, nomor 73/KMA/HK.01/ XI/2015 pada tanggal 25 September 2015 lalu.

“Dimana dalam surat itu tercantum 8 butir hal yang berkaitan dengan penyumpahan advokat yaitu Pertama, bahwa berdasarkan pasal 4 ayat (1) UU nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, sebelum menjalankan profesinya advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka diwilayah domisili hukumnya. Kedua, bahwa berdasarkan ketua MA nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 yang pada pokoknya ketua PT dapat mengambil sumpah para advokat yang telah memenuhi syarat dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan itu harus diajukan oleh pengurus Peradi sesuai dengan jiwa kesepakatan tanggal 24 Juni 2010 ternyata kesepakatan tersebut, tidak dapat diwujudkan sepenuhnya.” bebernya.

Bahkan, lanjut Herman Sitompul, Peradi yang dianggap sebagai wadah tunggal telah terpecah dengan masing-masing mengklaim sebagai pengurus yang sah.

“Disamping itu, sebagai pengurus advokat dari organisasi lainnya juga mengajukan permohonan penyumpahan. Ketiga, bahwa UUD 1945 menjamin hak untuk bekerja dan memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusia, hak mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (tidak terkecuali advokat) sesuai dengan ketentuan pasal 27 ayat (2) dan pasal 28d ayat (2).” tandasnya.

Dijelaskan Herman,
bahwa profesi advokat lebih identik dengan “Preman berbaju hitam” ketimbang “Penegak Hukum”. Oleh karenanya, perlu kiranya dikaji ulang keberadaan surat Ketua MA nomor 73/KMA/HK 01/XI/2015 tersebut.

“Terlebih lagi bila merujuk pada pasal 8 ayat 2 UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Bahwa, dikatakan bilamana segala peraturan yang dibuat oleh MA berdasarkan ketentuan pasal 8 ayat 1 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, baru mempunyai kekuatan yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.” terangnya.

Dikatakannya, hal mana dalam hal penyumpahan advokat, peraturan perundang-undangan yang mengaturnya adalah undang-undang advokat nomor 18 tahun 2003. Putusan MK nomor 35/PUU-XVI/2018 dalam pertimbangan hukumnya mengurai beberapa pertimbangan penting.

“Pertama, penegasan Peradi satu-satunya wadah profesi advokat yang memiliki 8 kewenangan melaksanakan pendidikan khusus profesi advokat (PKPA), melaksanakan pengujian calon advokat, mengangkat advokat, membuat kode etik, membentuk dewan kehormatan, komisi pengawas, melakukan pengawasan dan memberhentikan advokat.” jelasnya lagi.

Kedua, lanjut Herman, bahwa keberadaan organisasi advokat diluar Peradi yang ada saat ini, tidak dapat dilarang sabagai wujud kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin pasal 28 dan pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

“Hanya saja organisasi advokat itu tidak berwenang menjalankan 8 kewenangan itu sebagaimana termuat juga dalam putusan MK nomor 66/PUU-VIII/2010 tanggal 27 Juni 2011. Dan khusus penyumpahan atau pengangkatan dimasa mendatang harus bisa menyesuaikan organisasi Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat yang melekat. Penegasan MK itu tidak terlepas dari keinginan kuat untuk membangun marwah advokat sebagai profesi mulia (offisium nobile) demi penguatan integtritas dan kopetensi serta profesionalitas.” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *