Museum Multatuli Melaksanakan Konservasi Koleksi Model Kapal ” De Batavia” 

Caption : Petugas Museum Multatuli ketika melakukan konservasi koleksi model kapal “De Batavia” 

JUARAMEDIA,LEBAK-Museum Multatuli Kabupaten Lebak, melaksanakan kegiatan konservasi koleksi model kapal “De Batavia”, 27 Agustus 2024 lalu.

Meski demikian, mungkin masyarakat masih banyak yang bertanya-tanya, apa itu konservasi ?

Konservasi koleksi museum sebenarnya memiliki cakupan yang luas. Namun secara sempit, konservasi dapat diartikan atau bertujuan sebagai pemeliharaan dan pengawetan (sejauh mana benda itu bisa tetap bertahan).

Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya, tidak disebutkan istilah konservasi, tetapi menggunakan terminologi pelestarian atau pelindungan.

Kesadaran untuk menjaga koleksi agar kondisinya baik dan tetap bertahan lama selalu dikedepankan oleh Museum Multatuli. Dalam rentang enam tahun sejak museum ini berdiri, sudah ada beberapa koleksi yang dikonservasi.

Oplus_0

Seperti di tahun 2023, dilakukan pemeliharaan dan konservasi tiga keping koin Gulden yang berada di ruang 3 (Penerapan Sistem Kolonial), buku Max Havelaar cetakan pertama dalam bahasa Prancis tahun 1878 di ruang 4 (Ruang Multatuli), dan kain tenun Baduy serta pakaian bupati yang berada di ruang 6 (Ruang Lebak).

Dalam analisa awal mengenai benda-benda tersebut, tiga keping koin Gulden ditemukan titik-titik karat, buku Max Havelaar berada pada kondisi sangat rapuh (harus hati-hati ketika membukanya), dan kain tenun Baduy serta pakaian bupati terdapat serbuk kayu dan serangga kecil yang menempel pada kain.

Atas kondisi benda-benda tersebut dan mencegah kerusakan lebih jauh pada koleksi, tahun 2023 Museum Multatuli meminta bantuan Badan Pelestarian Cagar Budaya (BCPB) wilayah VIII yang saat ini berganti nama menjadi Badan Pelestarian Kebudayaan (BPK).

“Belum adanya pegawai atau staf yang memiliki spesifikasi konservator membuat museum meminta bantuan BPK.”

Di tahun 2024 sekarang, seperti yang sudah dilakukan pada tahun sebelumnya, Museum Multatuli mencoba mengonservasi koleksi model kapal De Batavia yang berada di ruang 2 (Pertemuan & Masuknya Kolonialisme ke Nusantara).

“Sekali lagi Museum Multatuli meminta bantuan BPK Wilayah VIII untuk melakukan konservasi.

Pra-Konservasi: Deskripsi Koleksi & Kondisinya Koleksi model kapal De Batavia memiliki Nomor Inventaris K.9.04.R.02/INV.2018 dan Nomor Registrasi Koleksi MM.SNK.2018.001.04. Koleksi ini merupakan replika 1:60 berdasarkan aslinya dan dibuat semirip mungkin.

Pembuatnya adalah Windu, seorang perupa dari Tangerang. Dibuat berdasarkan permintaan Museum Multatuli pada saat proses pengadaan koleksi tahun 2016, Selain itu, koleksi ini mempunyai ukuran panjang 130cm, lebar 45cm, dan tinggi 95cm.

“Koleksi ini berada di ruang 2 (Pertemuan & Masuknya Kolonialisme ke Nusantara), diletakkan di dalam vitrin kaca.”

Terdapat detail-detail menarik dari model kapal ini, yaitu terdapat 22 meriam, bendera Belanda dan bendera kota Amsterdam (xxx), tiga tiang layar, dan patung singa di bagian depan kapal. Model ini merupakan ciri khas dari kapal yang dibuat pada abad ke-17, sebagai pengangkut berbagai macam komoditas dari Nusantara ke Eropa.

Sebelum dilakukan konservasi, terlebih dahulu dilakukan pengecekan kondisi koleksi. Ketika dilakukan pengukuran ulang dan pengamatan langsung pada 3 Juli 2024 oleh kurator, ditemukan beberapa kondisi untuk catatan dalam proses konservasi kapal  ” De Batavia”

Pertama, dikarenakan vitrin kaca tidak tertutup seutuhnya, di koleksi muncul debu cukup tebal dan sarang laba-laba—baik di bagian dek maupun layarnya. Selain masuknya debu dari luar vitrin, kemungkinan kotoran-kotoran itu juga berasal dari dinding atas vitrin.

Oleh karena itu, perlu dilakukan pembersihan menyeluruh agar kondisinya lebih baik. Masalah debu lama-kelamaan akan membuat kondisi koleksi aus dan cat yang memudar.

Selain debu dan sarang laba-laba, di bagian dek terlihat seperti adanya kayu yang patah (baik di sisi kanan maupun kiri), seperti yang terlihat dari gambar di bawah ini:

Hal ketiga dari kondisi koleksi, berhubungan dengan bagian pertama: Cat di koleksi ini mulai memudar. Apakah perlu untuk dicat ulang? Hal ini perlu dikonfirmasi ke tim yang akan mengonservasi.

Terakhir, bagian yang belum dilakukan, yaitu mengetahui apakah material kayu dalam koleksi ini mulai keropos atau tidak? Kurator tidak berani untuk menyentuh koleksi; kemungkinan bisa terjadi keropos walaupun persentasenya kecil. Bisa saja saat proses pembuatan model ini, rayap dalam material kayu sudah ada sebelumnya. Bagian terakhir menjadi catatan penting untuk para konservator.

Proses Konservasi Konservasi dilaksanakan pada 27 Agustus 2024 di pendopo museum, dibantu dua konservator BPK VIII (Audio Mega CR. & Siti Aisyah), dan memakan waktu kurang lebih empat jam. Karena terbatasnya ruang gerak dan agar tidak mengganggu pengunjung museum, kami mengeluarkan kapal dari vitrin. Pendopo museum dirasa pas untuk menjadi tempat konservasi: Staf museum bisa mengamati dan belajar bagaimana proses konservasi koleksi, juga sebagai daya tarik pengunjung untuk mengetahui bidang lain dalam pengelolaan museum.

Dalam proses pembersihan, konservator menggunakan cairan sabun lerak. Bahan tersebut mengandung saponin, berfungsi sebagai pembersih alami—khususnya dalam pembersihan permukaan koleksi tanpa merusak bahan dasar kayu di kapal. Selain itu, lerak merupakan produk biodegradable yang tidak meninggalkan residu kimia berbahaya. Racikan lerak yang diolah oleh konservator BPK VIII juga mengandung atsiri sereh untuk membunuh spora jamur.

dalam konservasi kali ini juga digunakan amonia 25% untuk mengurangi tingkat keasaman (pH) dari koleksi. Tingkat keasaman dapat mempengaruhi penyerapan air. Koleksi museum, terutama yang terbuat dari bahan organik seperti kertas, tekstil, dan kayu, sangat rentan terhadap perubahan ph.

Jika lingkungan penyimpanan memiliki tingkat keasaman yang tinggi (pH rendah), bahan-bahan tersebut dapat menyerap lebih banyak air dari udara, yang dapat mengakibatkan kerusakan pelapukan, perubahan warna, dan degradasi unsur atom.

Adapun peralatan yang digunakan cukup sederhana, seperti kain, kuas halus, dan hair dryer dengan tingkat kecepatan rendah untuk mengeringkan kapal. Hilangnya debu dan kotoran pada akhirnya mengembalikan warna kapal menjadi cerah dan bersih. Akan tetapi disayangkan memang, patahan kayu yang terdapat di dek kapal disebabkan oleh berkurangnya kerekatan dempul. Ini akan menjadi catatan selanjutnya untuk konservasi tahap lanjut.

Konservasi biasanya menggunakan berbagai macam metode yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan bendanya. Walaupun saat ini sudah banyak bahan kimia sintetis, konservasi dianjurkan untuk mengedepankan penggunaan bahan dasar alami. Bahan-bahan alami itu digunakan untuk membersihkan benda koleksi sesuai dengan material utama dari komposisi benda. (adv)